oleh SIWI NURBIAJATI dan SONYA HELEN SINOMBOR
Nama Tegal bukan hanya identik dengan Warung Tegal. Daerah yang pada zaman penjajahan belanda merupakan sentra industri logam dan perkapalan dan kemudian dijuluki "Jepang-nya Indonesia" ini tidak bisa dilepaskan dari teh poci. Minuman yang wangi, panas, sepet, legi (manis), dan kenthel itu adalah simbol kekerabatan yang kuat bagi warga tegal.
Moci, atau tradisi minum teh poci, tak bisa tidak adalah simbiosis mutualisme antara sejumlah pabrik teh dan pabrik gula di Tegal yang tumbuh sejak zaman Belanda, perajin gerabah poci yang tumbuh di pedesaan, dan masyarakat pecinta teh poci : seniman, buruh, dan guru seni.
Moci sebenarnya hilir. Hulunya adalah pabrik-pabrik, industri tadi. Di hilir, moci lalu bukan sekedar minum teh, melainkan sebuah panggung sosial yang kuat di pesisir pantai utara Jawa ini.
Dari sekedar teman minum, kultur minum teh poci mewarnai kehidupan masyarakat wilayah tegal yang meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Brebes, termasuk Kabupaten Pemalang. Bahkan, tradisi moci menembus sekat-sekat antar-golongan masyarakat dan menghidupkan mesin perekonomian masyarakat.
Bukan cuma itu, tradisi minum teh menjelma dalam beberapa peran, mulai dari menjaga silaturahim hingga menjadi alat kontrol sosial di tengah masyarakat. Bahkan, komunikasi politik pun bisa berakhir di sebuah lesehan teh poci.
Warung teh poci pun menjadi ruang bebas berekspresi dan berpendapat komunitas masyarakat Tegal. "Waktu Walikota HM Zakir lengser saat reformasi, semuanya berawal dari obrolan teh poci " ungkap Ketua Dewan Kota Tegal Nurngudiono (52), saat menikmati teh poci bersama sejumlah seniman Tegal.
Di sebuah lesehan teh poci yang menjadi tempat nongkrong para seniman yang di kenal dengan daerah Dama, sejumlah seniman kondang Indonesia pernah nongkrong di sana.
Bicara soal makna teh poci, menurut budayawan Tegal, Atmo Tan Sidik, dalam sistem pertemanan, kedekatan seseorang bisa dinilai dengan poci.
Tamu yang oleh tuan rumah langsung disuguhi teh dalam poci memperlihatkan bahwa tamu tersebut sudah di anggap nyedulur (bersaudara) dan menjadi kerabat dekat, atau oleh masyarakat Tegal biasa disebut jakwir cetem.
Begitu dekatnya teh poci dengan warga tegal sehingga teh poci menjadi ikon kota Tegal. Promosi sejumlah merek teh pun bertebarab di seantero wilayah Tegal, baik kabupaten maupun kota. Hampir semua spanduk/papan nama warung makan dan toko, ada tulisan tehpoci dari sejumlah merek. Gambar gerbang kota ini pun teko dan cangkir teh. Di hotel-hotel Tegal selalu tersedia cangkir dan teko teh poci.
Tradisi moci mulai berakar seiring lahirnya pabrik-pabrik teh di wilayah Tegal sejak tahun 1950-an. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal, saat ini terdapat enam perusahaan teh dengan 2.823 tenaga kerja.
Keenam perusahaan teh tersbut adalah PT Gopek Cipta Utama, PT Gunung Slamat, PT Tunggul Naga, PT Dua Burung, PT Podo Joyo, dan PT Asli. Merek yang dihasilkan pabrik-pabrik teh itu dan kini dikenal luas di masyarakat antara lain Teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, dan Teh Gopek, Khusus untuk minuman teh poci dibungkus kecil-kecil seberat 9-10 gram, yang dibagi dalam beberapa kategori, yakni teh wangi, super, dan teh melati.
Aroma wangi yang berasal dari campuran melati tersebut tidak lepas dari keberadaan kebun melati di pesisir Kabupaten tegal, Pekalongan dan Batang.
Hidupnya tradisi moci juga ditopang keberadaan empat pabrik gula (PG), yakni PG Pangkah (Kabupaten Tegal), PG Jatibarang, PG Banjaratna, dan PG kersana . Tiga pabrik yang terakhir di Brebes yang berdiri sejak jaman Belanda. Dua dari empat PG tersebut masih eksis, yakni PG Pangkah dan PG Jatibarang, yang memproduksi gula batu yang menjadi pemanis minuman teh poci. Perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX di kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, juga hadir sejak tahun 1889
Hiruk-pikuk pertumbuhan pabrik gula tersebut adalah potret kerakusan maskapai dagang VOC dan penjajah Belanda. Gula, beras, lada, kopi, kapas, nila, kunyit, dan kayu gelondongan adalah komoditas yang dirampas dan digunakan untuk membangun Negeri Kincir Angin itu pada masa silam (lihat eksotisme Jawa, Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa 1768-1806, John Joseph Stockdale, Progesif Books, Yogyakarta, 2010, halaman 159-171).
Jadi, kebiasaan minum teh dengan poci, menurut nurngudiono, juga seiring berkembangnya sentra industri logam dan perkapalan serta perkebunan tebu dan teh di wilayah Tegal.
menurut Nurngudiono, tradisi moci konon dimulai dari para buruh kebun teh yang mengolah daun teh menjadi minuman teh dalam poci menggunakan gula batu. Minuman para buruh itu dikenal dengan nama "teh intjip" dan biasanya hanya tiga lembar daun yang diseduh di air panas.
Poci yang menjadi wadah tempat minuman teh poci tersebut di produksi masyarakat di daerah Grabahan, Talang, Tegal. Warna pocinya pun agak kehitaman.
Berkumpul bersama melepaskan penat seraya minum teh poci yang dilakukan buruh perkebunan, buruh pabrik, perajin logam, hingga nelayan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. "Bahkan, almarhum Piet Ardijanto yang terkenal dengan puisi-puisinya dan cerpenis SN Ratmana berasal dari Tegal. Mereka itu pecinta moci, " kata Joshua Igho, seniman musik di Tegal. Dua dalang hebat, Ki Slamet Gundhono dan Ki Enthus Susmono, adalah asli Tegal dan bagian dari komunitas negeri poci itu.
Sedemikian lekatnya nama dan tradisi moci dalam kehidupan masyarakat Tegal, dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan pun kemudian muncul istilah mantu poci dan sunat poci.
Mantu (menikahkan) poci digelar seperti hajatan pernikahan umumnya, yakni harus ada mempelai pria dan perempuan yang disimbolkan dengan poci. Poci besar biasanya simbol mempelai pria dan poci kecil mempelai perempuan. mantu poci dan sunat poci dilakukan orangtua yang tidak memiliki anak, tetapi ingin menyelenggarakan hajatan seperti mantu dan sunatan.
Pengakuan teh poci sebagai identitas Tegal diberikan kalangan seniman Indonesia berupa antologi puisi Dari Negeri Poci 1-4. Penyair Handrawan Nadesul menyebut kumpulan puisi tersebut lahir dari spontanitas penyair Indonesia yang bernostalgia di Tegal. Sementara sastrawan F Rahardi membela buku itu sebagai pemberontakan penyair pinggiran terhadap pusat sastra.
sumber: kompas 6/8/2011
makasih buat post-nya, buat bantu bahan presentasi :D
BalasHapus